Jumat, 24 September 2010

ISRA' MI'RAJ: Mu'jizat, Salah Tafsir, dan Makna Pentingnya

T. Djamaluddin
(Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)



Dalam memperingati isra' dan mi'raj sering kita diajak oleh pembicara pengajian akbar melanglang buana sampai ke langit, dan kadang-kadang dibumbui dengan analisis yang nampaknya berdasar sains. Bagi saya, aspek astronomis sama sekali tidak ada dalam kajian isra' mi'raj.

Tulisan ini saya maksudkan untuk mendudukkan masalah isra' mi'raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur'an dan hadits-hadits sahih. Untuk itu pula akan saya ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan isra' mi'raj dengan kajian astronomi. Makna penting isra' mi'raj yang mestinya kita tekankan.
Kisah dalam Al-Qur'an dan Hadits

Di dalam QS. Al-Isra':1 Allah menjelaskan tentang isra':

"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Dan tentang mi'raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18:

"Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar."

Sidratul muntaha secara harfiah berarti 'tumbuhan sidrah yang tak terlampaui', suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur'an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.

Kejadian-kejadian sekitar isra' dan mi'raj dijelaskan di dalam hadits- hadits nabi. Dari hadits-hadits yang sahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah. Kemudian didatangkan buraq, 'binatang' berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan buraq itu Nabi melakukan isra' dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina.

Nabi SAW salat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu; Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril, "Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah ummat engkau."

Dengan buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya baitul Ma'mur, tempat 70.000 malaikat salat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.

Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam ('pena'). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, "Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan ummat engkau." Jibril mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur'an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya.

Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah salat wajib. Mulanya diwajibkan salat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh- sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, "Saya telah meminta keringan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah." Maka Allah berfirman, "Itulah fardlu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku."

Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma'mur sampai menerima perintah salat tidak sama dalam beberapa hadits, mungkin menunjukkan kejadian- kajadian itu serempak dialami Nabi. Dalam kisah itu, hal yang fisik (dzhahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan badan fisik hingga bisa salat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan ruh para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga ditunjukkan dua sungai non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mu'min semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.

"Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: "Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia". Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia...." (QS. 17:60).

"Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai saya (kata Nabi SAW), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya dapatkan apa yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, saya memperhatikannya...." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Hakikat Tujuh Langit

Peristiwa isra' mi'raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur'an.

Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan? Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfer. Langit (samaa' atau samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.

Bilangan 'tujuh' sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur'an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur'an ungkapan 'tujuh' atau 'tujuh puluh' sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan:

"Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan TUJUH tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah MELIPATGANDAKAN pahala orang-orang yang dikehendakinya...."

Juga di dalam Q.S. Luqman:27:

"Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan TUJUH lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah...."

Jadi 'tujuh langit' lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.

Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, ... sampai langit ke tujuh dalam kisah isra' mi'raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya --termasuk bumi-- mengorbit jauh dari matahari. Nah, orang mungkin akan berfikir langit dunia itulah orbit bumi, langit ke dua orbit Mars, ke tiga orbit Jupiter, ke empat orbit Saturnus, ke lima Uranus, ke enam Neptunus, dan ke tujuh Pluto. Kok, klop ya. Kalau begitu, Masjidil Aqsha yang berarti masjid terjauh dalam QS. 17:1, ada di planet Pluto.

Dan Sidratul Muntaha adalah planet ke sepuluh yang tak mungkin terlampaui. Jadilah, isra' mi'raj dibayangkan seperti kisah Science Fiction, perjalanan antar planet dalam satu malam. Na'udzu billah mindzalik.

Saya berpendapat, pengertian langit dalam kisah isra' mi'raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan ruh para Nabi. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah isra' mi'raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan mengetahuinya. Isra' mi'raj adalah mu'jizat yang hanya diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Makna pentingnya

Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan isra' mi'raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa isra' mi'raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah salat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.

Makna penting isra' mi'raj bagi ummat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah salat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan salat sebagai ibadah utama dalam Islam. Salat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.

Salat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan:

"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45)



T. Djamaluddin adalah peneliti bidang matahari & lingkungan antariksa, Lapan, Bandung.

sumber:http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Djamal/isra.html

Sabtu, 28 November 2009

ADAM

Berdasarkan kajian seputar peristiwa Isra� dan Mi�raj sebelumnya, maka disini penulis berpendapat bahwa Adam dan istrinya memang tidak berasal dari planet bumi yang kita diami ini. Saat Allah hendak menjadikan manusia sebagaii Khalifah dibumi, malaikat mengajukan pertanyaan kepada-Nya dengan menyatakan bahwa manusia hanya akan menumpahkan darah saja nantinya.
Hal ini cukup mengherankan bagi kita, dari mana para Malaikat itu tahu mengenai hal ini, padahal saat itu manusia belum lagi diciptakan Tuhan ? Jawaban yang paling masuk akal adalah bahwa sebelum itu sudah pernah ada generasi manusia-manusia yang memiliki beberapa perbedaan struktural phisik dengan kita; dan selama kurun waktu yang ada, mereka hanya sibuk berperang dan saling membunuh.
Jika tiba-tiba Tuhan menyebutkan Dia ingin menciptakan manusia jenis baru untuk menjadi Khalifah yang bertugas sebagai pengatur pemberdayaan sumber alam dibumi, tentunya ini bertentangan dengan pengetahuan yang sudah dikenal oleh para malaikat itu sebelumnya. Tetapi Allah menegaskan, Dia lebih mengetahui apa yang Dia inginkan dan Dia rencanakan.
Ingatlah, saat Tuhanmu berkata kepada para malaikat : �Aku bermaksud untuk menjadikan seorang khalifah dibumi !� ; Mereka bertanya : �Kenapa Engkau hendak menjadikan dibumi itu orang yang akan membuat kerusakan didalamnya dan menumpahkan darah ? ;
Padahal kami selalu bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ? ; Dia menjawab : �Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa saja yang tidak kamu ketahui.� � Qs. 2 al-Baqarah : 30
Dari ilmu sejarah modern yang data-datanya diperoleh berdasar hasil penemuan arkeologi terkni kita bisa mengetahui bahwa bumi ini sudah diisi oleh makhluk sejenis manusia sejak lebih kurang 50.000 tahun yang lalu, akan tetapi manusia-manusia tersebut memiliki perbedaan yang mencolok dengan manusia modern yang disebut sebagai Homo Sapiens.
Beberapa contohnya seperti Homo Erektus yang fosilnya ditemukan di Trinil (Ngawi) tahun 1894 oleh Dr. Dubois, kemudian Homo Sapiens Reanderthalensis yang ditemukan dilembah Neanderthal pada tahun 1896, Cro-Magnon dan sebagainya.
Homo Sapiens Reanderthalensis misalnya memiliki wajah sangat menyeramkan, bertubuh pendek, tidak berdagu dan menonjol diatas matanya.
Saya berpendapat, manusia-manusia purba non Homo Sapiens inilah contoh kasus yang pernah disaksikan oleh para malaikat dan diajukan mereka sebagai bukti kepada Allah saat Dia hendak menciptakan manusia baru sebagai khalifah-Nya dibumi ini.
Dalam pemeriksaan arkeologi terhadap 41 lokasi yang berusia antara 1,8 juta hingga 10.000 tahun, Todd Surovell dari Universitas Wyoming menemukan bahwa hubungan antara manusia purba dengan gajah cocok dengan gelombang ekspansi populasi manusia.
Artinya, seiring dengan tumbuhnya populasi manusia di suatu tempat, maka jumlah gajah turun - pada beberapa kasus bahkan lenyap. Temuan tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa ekspansi geografis manusia purba mengakibatkan kepunahan lokal gajah. Berlebihnya perburuan mungkin menjadi penyebab utama hal ini, kata Surovell, namun pemecahan populasi dianggap membuat kondisi makin parah (sumber : Kompas Cyber Media, http://www.kompas.com/teknologi/news/0504/20/160606.htm, dalam rubrik Sains & Teknologi, Manusia purba ikut melenyapkan populasi gajah)

Jamal al-Nasir, Stories of The Prophets (www.DivineIslam.co.uk/DivineIslam/software/Prophets_Stories/) dalam komentarnya mengenai Adam dalam The Prophets of Almighty Allah, bahwa Ibn Qatadah dan Abdullah Ibn Umar menyatakan bahwa sebelum Allah menjadikan Adam dibumi ini, sudah ada penduduknya yang berasal dari kalangan Jin. Akan tetapi apa yang disampaikan oleh keduanya ini bukanlah perkataan langsung dari Nabi sendiri, bisa saja ini merupakan tafsir mereka mengenai ayat-ayat al-Qur�an yang membicarakan tentang Adam.
Untuk itu kita juga harus melakukan analisa dari hasil penemuan arkeologi modern seputar fosil-fosil manusia purba dan mencocokkannya dengan informasi yang disampaikan oleh al-Qur�an. Jika memang baru pada penciptaan Adam sajalah bumi ini dihuni oleh manusia, bagaimana kita menghubungkan Adam yang menurut al-Qur�an memiliki ilmu pengetahuan melebihi malaikat dengan manusia purba yang masih berkutat dengan jaman batunya ?
Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama-nama, lalu mengemukakannya kepada para malaikat dan Dia berfirman :
�Jelaskanlah nama-nama benda itu kepada-Ku bila memang kalian orang-orang yang benar ?� ; Mereka menjawab:�Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami� ; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. � Qs. 2 al-Baqarah : 31-32

Memang al-Qur�an ada memberikan informasi bahwa Jin diciptakan lebih dahulu dari manusia namun konteksnya pada ayat tersebut hanya urutan penciptaan bukan dalam hal penempatan dibumi. Apalagi ayat al-Qur�an menceritakan dimana Jin dengan pemimpinnya yang bernama Iblis masih berada di Jannah saat Allah memerintahkan untuk bersujud kepada Adam, dan mereka baru keluar setelah diusir oleh Allah atas tindakan pembangkangan yang mereka lakukan.

Dan Kami telah menciptakan Jin sebelum Adam dari api yang sangat panas � Qs. 15 al-Hijr : 27
Tuhan berfirman : turunlah kamu dari sana, sebab tidak sepantasnya kamu berlaku sombong didalamnya; sungguh kamu termasuk kaum yang hina � Qs. 7 al-a�raaf : 13
Kehendak Allah untuk menjadikan Adam selaku manusia pengganti generasi sebelumnya dibumi kita ini dicetuskan kepada para Malaikat-Nya, dan apa yang dilakukan oleh Iblis dengan godaannya terhadap Adam justru sebagai alat yang menjadi sebab peristiwa penurunan Adam dari Jannah menjadi nyata dan inilah yang sebenarnya menjadi pertanda kesiapan Adam untuk memulai misi utamanya diplanet bumi kita.
Polemik pohon terlarang pada kisah Adam yang tercantum dalam al-Qur�an, telah mengundang perdebatan tiada henti dikalangan agamawan tradisional hingga ulama modern dan liberal sekarang ini. Berbagai pendapat telah menghiasi lembaran-lembaran halaman buku guna menyibak misteri pohon tersebut, mulai dari yang menyatakan bahwa pohon ini terdapat disurga yang berbeda dengan surganya orang-orang beriman kelak dihari kiamat hingga penafsiran pohon tersebut tidak lebih dari sekedar simbolitas kepatuhan dan keserakahan nafsu manusiawi Adam sudah menambah khasanah pengetahuan Islam.
Menarik bila kita melihat pendapat Nazwar Syamsu yang menggambarkan pohon larangan ini sebagai sebuah larangan persetubuhan Adam atas diri istrinya yang konon disebut-sebut bernama Hawa. (sumber : Nazwar Syamsu, Tauhid dan Logika, al-Qur�an tentang al-Insan, Ghalia Indonesia, Jakarta, Januari, 1983, hal. 201)
Disini Beliau menyebutkan bahwa arti kata Syajarah tidaklah harus diterjemahkan sebagai Pohon, namun bisa dianalogikan dengan pertumbuhan atau perkembangbiakan.
Nazwar Syamsu juga mengkritik para penafsir Qur�an yang hanya memakai kamus bahasa Arab tradisional yang disusun berdasarkan pengetahuan dan peradaban sesuai jaman yang berlaku kala itu, padahal menurutnya al-Qur�an harus bisa dipahami dan diterjemahkan kedalam konteks dunia modern dan seyogyanya pola penafsiran kitab sucipun harus mengalami perkembangan.
Uniknya, Nazwar Syamsu bukanlah orang pertama yang memberikan penafsiran kata Syajaratu sebagai larangan melakukan hubungan seksual antara Adam dan istinya, Dr. M. Quraish Shihab menulis dalam salah satu bukunya (yaitu Membumikan al-Qur�an, Penerbit Mizan, Bandung, Oktober 1992, hal 98) bahwa jauh sebelum itu, Dr. Mustafa Mahmud juga memberikan penafsiran yang serupa.
Bagi penulis sendiri, baik Nazwar Syamsu maupun Mustafa Mahmud sekalipun tafsir keduanya dianggap telah menyalahi kaidah bahasa yang berlaku, namun pendapat mereka bisa kita pahami secara global dengan menghubungkan semua rangkaian cerita yang ada seputar Adam didalam al-Qur�an.
Dan Kami katakan : Hai Adam, tinggallah engkau dan istrimu di Jannah itu dan makanlah daripadanya sepuas apa yang engkau kehendaki, dan janganlah mendekati Syajarah ini, jika itu kamu lakukan maka kamu akan termasuk orang yang zalim. � Qs. 2 al-Baqarah : 35
Hai Adam ! Tinggallah engkau dan istrimu di Jannah itu, makanlah yang mana saja engkau sukai, dan janganlah mendekati Syajarah ini, maka kamu akan termasuk orang zalim. � Qs. 7 al-A�raaf : 19
Setan menggoda keduanya dengan bujuk-rayu, maka ketika keduanya merasakan Syajarah tersebut, tampaklah bagi keduanya tubuh mereka masing-masing, lalu segera menutupi diri dengan daun-daun Jannah. Dan Tuhan mereka menyeru kepada mereka : �Bukankah Aku mencegah kamu seputar Syajarah ? Dan telah Aku peringatkan kalian bahwa setan itu merupakan musuh yang nyata bagimu ! � Qs. al-A�raaf : 22
Sejak semula, Allah bermaksud menjadikan manusia modern atau Homo Sapiens bernama Adam sebagai Khalifah atau manusia baru menggantikan manusia generasi sebelumnya diplanet bumi kita ini. Rencana Allah yang diungkapkan didalam al-Qur�an ini tidaklah dimulai dari bumi ini sendiri, melainkan berada di Jannah, diseputar Sidratul Muntaha yang berlokasi diufuk yang tinggi.
Sebagai pertanda telah tibanya waktu penugasan Adam tersebut akan disertai oleh kemandirian dan kedewasaannya selaku manusia paripurna. Kedewasaan dan kemandirian seorang laki-laki pada umumnya mulai tampak sewaktu dia sudah berpikir untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita. Disini secara bijaksana kita bisa melihat bahwa larangan Allah hanya bersifat temporari atau sementara, dan ini juga bentuk ujian pertama kepada Adam.
Jannah yang ada di Muntaha bukan tempat permanen bagi hidup Adam dan generasinya sebab Allah telah menentukan Bumi inilah tempat berdomisili Adam dan semua keturunannya, karena itu naluri meneruskan keturunan disana tidak akan sesuai dengan kehendak Allah.
Meskipun demikian, Allah tidak ingin rencana-Nya menjadikan Adam Khalifah dibumi berjalan melalui paksaan, karena itu Allah sebelumnya telah memberi pengarahan kepada Adam dan istrinya agar tidak mendekati perbuatan tersebut, namun manakala Adam akhirnya melanggar dengan perantaraan setan, Allah tidak serta merta memutuskan tali kasih-Nya dengan menjadikan perbuatan tersebut sebagai dosa yang menurun kepada anak-anak Adam, Allah hanya menilai Adam telah lalai dari seruan-Nya dan Dia memaafkannya.
Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, namun ia lupa dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat
� Qs. 20 Thaha : 115
Saat Adam dan istrinya terpedaya oleh setan dengan melakukan perbuatan yang sudah dilarang Allah ini, mereka tersentak kaget dan langsung ingat bahwa mereka sudah melakukan sebuah kesalahan. Karena itu al-Qur�an melukiskan Adam dan istrinya dengan sigap mengambil daun-daun yang ada didalam Jannah tersebut guna menutupi aurat masing-masing karena rasa malunya dan langsung memohon ampunan.
Keduanya berkata : Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri; dan jika Engkau tidak memberi ampunan serta rahmat kepada kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang selalu merugi. - Qs. 7 al-A�raaf : 23
Lalu Tuhannya memilihnya dan Dia menerima tobatnya dan memberikan petunjuk � Qs. 20 Thaha : 122
Allah maha bijaksana, seluruh hukum dan ketetapan yang terjadi pada makhluk-makhlukNya berjalan sesuai rencana dan terjadi dengan logis, tanpa mengabaikan hukum sebab akibat. Isyarat bahwa Adam harus segera memulai tugas barunya memakmurkan bumi, menggantikan manusia purba sudah tiba.
Ini bukan hukuman dari Allah, tetapi justru suatu rahmat dan kehormatan bagi manusia yang sudah terpilih menjadi wakil Allah dibumi. Karena itu konsep dosa turunan tidak pernah dikenal didalam ajaran Islam.
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari Jannah itu dan keluar dari keadaannya semula, lalu Kami berfirman :
�Turunlah kalian ! sebagian dari kamu akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Bagi kalian ada tempat kediaman dibumi serta kesenangan hidup sampai batas waktu yang sudah ditentukan.� � Qs. 2 al-Baqarah : 36
Istilah IHBITU atau turunlah adalah kalimah perintah, dan ini memiliki arti turun dari tempat yang tinggi ketempat yang lebih rendah, seperti dari gunung, dan juga dipakai dengan arti pindah dari satu tempat kesatu tempat yang lain. Hal ini sama dengan yang dikatakan oleh Qur'an pada turunnya Nabi Nuh dari kapal kedaratan, jatuhnya batu dari tempat tinggi dan lain sebagainya.
Bagaimana dan dengan cara apa Adam diturunkan kebumi ini memang tidak dijelaskan lagi oleh Allah didalam al-Qur�an, namun bisa saja hal yang sama seperti kejadian pada Nabi Yehezkiel dan Nabi Muhammad juga terjadi pada diri Adam dan istrinya. Artinya, Adam dan istrinya diberangkatkan dari Jannah kebumi ini dengan suatu kendaraan antariksa sejenis Buraq.
Ketika mereka tiba diplanet bumi kita ini, kendaraan mereka itu dikandaskan oleh Allah disuatu tempat sehingga terpisahlah Adam dan istrinya untuk sekian lamanya sehingga akhirnya mereka kembali berjumpa di padang Arafah, berjarak 25 Km dari kota Mekkah dan 18 Km dari Mina. (Arti dari Arafah sendiri adalah pertemuan).
Mereka didaratkan terpisah oleh Allah sebagai pelajaran untuk mereka berdua agar dapat belajar mengendalikan hawa nafsu mereka masing-masing sekaligus memberikan kesempatan kepada Adam dan istrinya untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya dibumi ini yang tidak jauh berbeda dengan keadaan sewaktu mereka masih di Jannah.
Hal ini dapat kita selami dari lamanya waktu mereka berpisah begitu mereka diturunkan dibumi dari Jannah sehingga menurut salah satu riwayat berjarak sekitar 200 tahunan (sumber : Drs. H. Abujamin Roham, Aku Pergi Haji, Penerbit Media Da�wah, Jakarta, 1994, hal 134).
Mungkin kita menganggapnya tidak masuk akal, namun kita bisa mengkorelasikan kejadian ini dengan usia Nabi Nuh yang menurut al-Qur�an lamanya beliau tinggal bersama umatnya 950 tahun.(Lihat surah 29 al-�Ankabut : 14) Juga usia ashabul Kahfi ketika tertidur didalam gua selama 309 tahun.(Lihat surah 18 al-Kahfi : 25)
NAZWAR SAMSU :FROM islamic.xtgem.com

Minggu, 03 Mei 2009

Bintang Bethlehem

Bintang Bethlehem

Rahasia Bintang BethlehemSETIAP
tanggal 25 Desember, umat Nasrani memperingati hari kelahiran Yesus sang Isa
al-Masih. Injil menyebutkan, kelahirannya ditandai sebuah bintang- dikenal
sebagai Bintang Bethlehem-yang menunjukkan tempat kelahiran Al-Masih di Kota
Bethlehem (Bait al-Lahm) yang berarti kota kelahiran.

NAMUN, keberadaan Bintang Bethlehem sampai saat ini masih menjadi misteri, sehingga manusia
terus berupaya mengungkapnya. Sebenarnya dengan mengetahui tanggal kelahiran Yesus sang Isa al-Masih
misteri bisa diungkap. Sayangnya, tanggal dan hari kelahiran Al-Masih juga masih teka-teki.

Dengan menganggap Bintang Bethlehem sebagai fenomena alam, pengetahuan astronomi yang berkembang saat ini memungkinkan untuk mereka-ulang fenomena langit yang telah terjadi. Hal ini karena penampakan benda-benda di langit umumnya periodik dan mempunyai keteraturan.

Dalam Injil Mathius disebutkan bahwa Al-Masih lahir pada masa Raja Herodes yang menurut ahli sejarah meninggal sekitar 4 SM. Ini berarti kelahiran Al-Masih terjadi sebelum atau tepat tahun 4M.

Dari Injil yang sama, diketahui paling tidak ada sembilan syarat yang harus dipenuhi oleh benda langit untuk disebut sebagai Bintang Bethlehem. Kesembilan ciri tersebut adalah, obyek mengabarkan kelahiran, mengisyaratkan kerajaan atau keagungan, ada kaitan sejarah dengan bangsa Yahudi, terlihat terbit di arah timur oleh orang-orang Majus, penampakan bintang selalu berpindah, penampakan bertahan selama beberapa waktu, terlihat mendahului orang- orang Majus ketika mereka berangkat menuju Bethlehem di arah selatan, berhenti saat orang-orang Majus berada Kota Bethlehem, dan Herodes tidak mengenalinya.

Kandidat meteor

Dengan berbagai persyaratan itulah astronom bekerja mencari Bintang Bethlehem. Maka, pertanyaan berikutnya adalah, mungkinkah Bintang Bethlehem sebuah meteor?

Meteor adalah kilatan cahaya di langit yang terjadi ketika debu-debu angkasa memasuki atmosfer Bumi dan terbakar. Umumnya meteor yang dilihat hanya seukuran pasir dan akan habis terbakar di atmosfer.

Untuk dapat menjadi Bintang Bethlehem, meteor yang dilihat oleh orang-orang Majus harus muncul di arah timur. Selain itu harus ada meteor lain pada waktu yang berbeda, yang bergerak mendahului orang-orang Majus saat menuju Bethlehem dari Jerusalem dan kemudian berhenti di atas kota kelahiran Al-Masih itu.

Memang kemunculan meteor dapat dari arah mana pun dilihat dari muka Bumi. Penampakannya juga kurang lebih satu detik, meski ada pula meteor besar yang disebut sebagai fireball dengan kecermelangan, seperti Planet Venus, dan dapat bertahan beberapa detik sambil meninggalkan jejak asap di belakangnya.

Penampilan meteor tampaknya sesuai dengan penggambaran di atas, namun durasinya yang singkat membuatnya sukar dikesani sebagai “diam” di atas Kota Bethlehem oleh orang-orang Majus. Bila dikaitkan dengan tradisi, penampakan meteor tidak pernah dianggap sebagai pertanda kelahiran calon pemimpin.

Nova dan supernova

Bagaimana dengan nova atau supernova? Nova, berasal dari Nova Stella yang berarti bintang baru, merupakan bintang yang cahayanya menjadi sangat terang secara tiba-tiba.

Sebenarnya bintang ini sudah ada sebelumnya, hanya saja tidak menarik perhatian karena teramat lemah cahayanya. Kini diketahui nova adalah bintang meledak. Terang cahaya nova bisa 50.000 kali lebih terang daripada Matahari dan mampu bertahan hingga berbulan-bulan sebelum akhirnya meredup kembali.

Peristiwa supernova jauh lebih dahsyat daripada nova. Bintang yang meledak bisa miliaran kali lebih terang daripada sebelumnya. Catatan astronomi menunjukkan, sejak penemuan teleskop tahun 1610 hingga kini, belum ditemukan supernova dalam galaksi kita, Bima Sakti.

Supernova terakhir di Bima Sakti ditemukan tahun 1054 (dicatat oleh astronom Cina dan Jepang), 1572 (diamati oleh Tycho Brahe, astronom Denmark), dan 1604 (diamati oleh Kepler).

Dalam catatan astronomi Cina kuno tidak ditemukan supernova pada sekitar 5 SM, hanya sebuah nova pada sekitar tanggal 10 Maret-27 April pada tahun yang sama di rasi Capricornus (Kambing Laut). Nova ini bisa jadi yang dimaksud oleh orang-orang Majus sebagai bintang yang mereka lihat terbit di timur.

Sayangnya, Nova, seperti bintang-bintang lainnya, posisinya relatif tetap dan tidak akan tampak bergerak. Selain itu, penampakan nova di langit malam akan membuatnya menjadi obyek yang mencolok dan mudah dikenali, sehingga semestinya Herodes juga mengetahuinya.

Komet

Teori lain menyebutkan bahwa penampakan bintang di rasi Capricornus tersebut adalah komet. Meskipun manuver yang diperlukan dalam syarat Bintang Bethlehem dipenuhi bintang berekor ini, sayangnya dalam berbagai budaya komet identik dengan pertanda buruk atau bencana. Jadi, komet juga tidak mungkin sebagai Bintang Bethlehem.

Konjungsi Jupiter-Saturnus

Mungkinkah bintang tersebut adalah planet-planet dengan konfigurasi tertentu? Penelusuran jauh ke belakang membawa pada peristiwa konjungsi antara dua planet raksasa di Tata Surya, Jupiter dan Saturnus, yang dimulai Mei 7 SM di rasi Pisces (Ikan).

Peristiwa konjungsi terjadi bila dua atau lebih obyek langit terlihat berdekatan di angkasa. Gerhana Matahari total adalah salah satu contoh peristiwa konjungsi Bulan-Matahari yang spektakuler.

Yang membuat konjungsi pada tahun tersebut menjadi menarik adalah kejadiannya yang tidak hanya satu kali, melainkan tiga kali. Peristiwanya sendiri sudah diprediksikan dalam Almanak Sippur yang ditulis pada 17 SM atau 10 tahun sebelumnya.

Konjungsi pertama antara Jupiter-Saturnus terjadi pada 29 Mei 7 SM di rasi Pisces, yang dalam astrologi dikaitkan dengan Bani Israel. Jupiter dan Saturnus pada tanggal di atas, dari wilayah Jerusalem, muncul setelah lewat tengah malam sehingga akan terlihat di arah timur sebelum Matahari terbit.

Empat bulan berikutnya, tepatnya 1 Oktober 7 SM, kembali terjadi konjungsi Jupiter dan Saturnus. Kali ini kedua planet terbit beriringan di timur pada saat Matahari terbenam sehingga akan teramati sepanjang malam.

Jupiter (magnitudo: -2,9) dan Saturnus (magnitudo: +0,2) yang tampak berdekatan di langit akan dikesani oleh mata telanjang sebagai sebuah bintang yang cemerlang. Sangat dimungkinkan pertanda inilah yang mendorong orang-orang Majus memulai perjalanan mereka ke Jerusalem, sesuai ucapan mereka ketika menjumpai Raja Herodes, “Kami telah melihat bintang-Nya di timur…” (Matius 2:2).

Perjalanannya dari timur Jerusalem, sehingga sangat dimungkinkan orang-orang Majus ini berasal dari wilayah Babilonia yang memang berada di sebelah timur kota ini. Sangat mungkin pula mereka adalah ahli perbintangan yang dihormati, mengingat Raja Herodes menaruh perhatian besar atas berita yang mereka bawa.

Posisi Jupiter yang terbit berlawanan dengan arah Matahari dan berada di rasi Pisces pada konjungsi kedua ini dikenal sebagai King Maker Formation, suatu pertanda bahwa raja baru akan dilahirkan. Ini seperti yang diutarakan para imam dan ahli Taurat kepada Raja Herodes, bahwa Mesias akan dilahirkan di Bethlehem sebagaimana tertulis dalam kitab nabi (Matius 2:5).

Ketidaktahuan Raja Herodes perihal waktu kemunculan bintang tersebut juga dialami oleh para penggembala (Lukas 2:8-12). Peristiwa yang terjadi memang hanya melibatkan benda-benda langit yang lazim mereka jumpai, sehingga hanya ahli perbintangan (astrologi) seperti orang-orang Majus itulah yang memahami apa yang terjadi di langit.

Penuhi persyaratan

Sejauh ini enam syarat pertama dipenuhi oleh konjungsi Jupiter-Saturnus. Bagaimana dengan tiga syarat lainnya?

Dari Jerusalem, orang-orang Majus menuju ke Bethlehem di arah selatan, tempat Al-Masih dilahirkan. Mereka mengamati bahwa bintang yang awalnya mereka lihat di timur itu kini mendahului mereka dan berhenti di atas kota di mana Al-Masih berada (Matius 2:9).

Bahwa orang-orang Majus masih dapat melihat obyek yang sama dengan yang pertama kali mereka amati (konjungsi kedua, pada awal Oktober 7 SM), hal ini secara langsung menunjukkan bahwa penampakan obyek tersebut bertahan beberapa waktu.

Konjungsi ketiga Jupiter-Saturnus terjadi pada 5 Desember 7 SM. Posisi kedua planet pada konjungsi kali ini berada di sebelah selatan khatulistiwa langit, sehingga tidak mengherankan bila orang-orang Majus melihatnya sebagai bintang yang bergerak mendahului mereka di arah selatan.

Simulasi pemandangan langit juga menunjukkan bahwa keduanya mencapai zenit (titik tertinggi yang dapat dicapai dalam peredaran harian di bola langit) setelah terbenamnya Matahari. Bila orang-orang Majus dapat tiba di Bethlehem pada saat kedua planet mencapai zenit, tentunya mereka akan mendapati Jupiter dan Saturnus seolah-olah berhenti di atas kota Daud tersebut, sebab tidak mungkin lagi bagi Jupiter dan Saturnus untuk beranjak lebih tinggi.

Teori lain

Michael Molnar, astronom dari Rutgers University, berteori bahwa Bintang Bethlehem adalah okultasi Jupiter oleh Bulan. Peristiwa okultasi terjadi bila Bulan melintas di depan benda langit lainnya dan menutupinya untuk sementara waktu. Teori Molnar muncul setelah mempelajari sebuah koin yang berasal dari Antioch bertahun 13 M. Pada koin tersebut tergambar seekor domba jantan yang sedang memandang sebuah bintang terang di dekat bulan sabit.

Molnar menyimpulkan bahwa peristiwa okultasi memiliki makna yang besar bagi orang- orang zaman dulu. Penelusurannya ke masa silam menunjukkan dua peristiwa okultasi Jupiter oleh Bulan pada 6 SM yang dapat diamati dari kawasan Timur Tengah. Menghilangnya Jupiter di balik Bulan dan kemunculannya kembali beberapa saat kemudian, memberi pertanda pada orang- orang Majus perihal kelahiran seorang raja baru. Rasi tempat terjadinya peristiwa langit ini, Aries (domba jantan), dalam astrologi dikaitkan dengan wilayah Palestina.

Namun, keberatan muncul karena dalam teori konjungsi ada lebih dari satu obyek langit yang terlibat. Padahal, orang-orang Majus menyebut Bintang Bethlehem dalam bentuk tunggal.

Mungkin hakikat Bintang Bethlehem tidak akan benar- benar dipahami. Terkadang sebuah misteri lebih baik tetap menjadi misteri karena di baliknya tersimpan tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Selamat merayakan Natal 2003 dan semoga kedamaian senantiasa ada di negeri ini.

Judhistira Aria Utama SSi, Himpunan Astronom Amatir Bandung (HAAB), Forum
Kajian Ilmu Falak “ZENITH”

Sumber: Kompas, Selasa, 23 Desember 2003

Selasa, 21 April 2009

ASTROSOFTWARE STELLARIUM 0.10.2

luar angkasa memiliki banyak misteri yang belum di pecahkan, di sana banyak benda2 angkasa yg memenuhi jagad raya nie, apakah km pengen tau?? caranya mudah tinggal pergi ke luar angkasa za, kwkwkwk.... mahal??? tentu saja, namun dapat di siasati dengan pergi ke planetarium
mungkin beberapa di antara kita pernah da yg ke planetarium, tapi bagi yg d sekitar tempat tinggalnya tidak ada planetarium pasti kesulitan untuk tahu luar angkasa, jika memang bener, saya akan beritahu tipsnya, dengan cara menginstal STELLARIUM 0.10.2
aplikasi ini merupakan open sourceplanetarium, yang biasanya di tampilkan pada proyektor.
apli kasi nie merupakan tiruan dari dari langit yg sebenernya, dan dapat dilihat langsung dari layar monitor anda.
...
aplikasi ini menampilkan langit yang realistik pada bentuk 3D, layaknya melihat dengan mata telanjang, kita cuma perlu melakukan konfigurasi koordinat dan dengan segera akan didapati planetarium pribadi pada layar kita, kita juga bisa melakukan zoom dan penyesuaian terhadap tampilan objek dalam stellarium. jadi aplikasi ini cocok sekali bagi pelajar seperti saya terutama siswa program IPA.
bagi yang berminat bisa di download di www.stellarium.com

Senin, 28 April 2008

Allah Tuhanku dan Tuhanmu

Katagori : Kristology
by : Tim Fakta - 23 Feb 2008 | 4:04 pm

Oleh: Aris H

Dalam buku Islamic Invasion, Dr Robert Morey dengan mengutip dari berbagai referensi karya orientalis seperti H.A.R. Gibb, Arthur Jeffery, Henry P. Smith, Kenneth Cragg, W. Montgomery Watt, Caesar Farah dan lain-lain, menyatakan bahwa Allah itu merupakan nama ‘Dewa Bulan” yang disembah oleh bangsa Arab pra-Islam. Di dalam literatur Yahudi dan Kristen tidak pernah ditemukan bahwa nama Tuhan itu adalah Allah. (Robert Morey, Islamic Invasion, Confronting the World’s Fastest Growing Religion, Overseas Ministry, Garden Grove, USA, 1992, hal. 53-72).

Tampaknya Dr. Robert Morey kurang memahami Alkitab. Meskipun kita hanya membaca terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia tanpa disertai teks berbahasa Ibrani, kita masih bisa menemukannya nama Allah di masa nabi Ibrahim as. Sebab di dalam kitab suci umat Kristen sendiri, yakni pada kitab Kejadian pasal 16 telah menyebut dua kali panggilan singkat untuk Tuhan: El yang lengkapnya adalah Eloha atau Eloah (Ibrani), Alaha (Aram), Allah (Arab):

“Selanjutnya kata Malaikat Tuhan itu kepadanya: “Engkau mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan akan menamainya Ismael (isma-El), sebab Tuhan telah mendengar tentang penindasan atasmu itu” (Kejadian 16: 11 The Interlinear Bible: Hebrew, Greek, English)

Dari keterangan diatas dapat diambil kesan, bahwa pada saat zaman Hajar serta Ibrahim maupun Ismail, kata yang digunakan untuk menyembah atau sebutan untuk Tuhan adalah “El”

Kata Allah tampak asing bagi non-Muslim tetapi tidak bagi semua Nabi dari Adam sampai Muhammad. Dalam bahasa Arab kita menemukan di dalam kitab suci Al-Qur‘an kata “Allah.” Kata ini sama dengan kata dalam bahasa Ibrani “Eloah,” tetapi Yahudi membuatnya dalam bentuk jamak: “Elohim.” Kata “Allah’ lebih dekat dengan kata bahasa Aram ‘Alaha’ yang digunakan oleh Yesus sendiri (nabi Isa alaihis salam). Baca Encyclopaedia Britannica 1980, yang ditulis oleh orang-orang non-Muslim, dengan judul artikel “Allah and Elohim.”

“Allah is the one and only God in the religion of Islam. Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, “the God.” The name’s origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonym for Yahweh. All(h is the standard Arabic word for “God” and is used by Arab Christians as well as by Muslims” (CD Encyclopaedia Britannica 2003 Ultimate Reference Suite).

[“Allah itu satu dan satu-satunya Tuhan adalah agama Islam. Menurut etimologi, nama Allah itu mungkin singkatan dari kata bahasa Arab Al-Ilah yang berarti “Tuhan.” Asal nama dapat ditelusuri dari Tulisan Semitic (bahasa Semit di masa Ibrahim, pen.) yang paling awal di mana kata untuk menyebut Tuhan adalah Il Atau El, yang belakangan menjadi Sinonim Perjanjian Lama untuk Yahweh. Allah adalah kata bahasa Arab yang baku untuk “Tuhan” dan digunakan oleh Kristen Arab seperti halnya oleh Orang Islam.”]

“Singular Eloah (Hebrew: God), the God of Israel in the Old Testament. A plural of majesty, the term Elohim-though sometimes used for other deities, such as the Moabite god Chemosh, the Sidonian goddess Astarte, and also for other majestic beings such as angels, kings, judges (the Old Testament shoferim), and the Messiah - is usually employed in the Old Testament for the one and only God of Israel, whose personal name was revealed to Moses as YHWH, or Yahweh (q.v.). When referring to Yahweh, elohim very often is accompanied by the article ha-, to mean, in combination, “the God,” and sometimes with a further identification Elohim Rayyim, meaning “the living God”

[“Eloah bentuk tunggal (dari bahasa Ibrani: Tuhan), Tuhan Israel di yang disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama. Bentuk jamaknya untuk menunjuk keagungan-Nya adalah Elohim yang terkadang dipakai untuk menyebut dewa-dewa, seperti dewa Chemos yang disembah orang Moab, Dewi Astarte sesembahan orang Sidon dan juga untuk memanggil yang memiliki keagungan seperti malaikat, raja dan hakim-hakim agama Yahudi, juga Mesiah – Kata Elohim biasanya dipakai dalam Perjanjian lama untuk menyebut satu-satunya Tuhan bangsa Israel yang telah menurunkan wahyu kepada nabi Musa, YHWH atau Yahweh. Ketika kata tersebut dimaksudkan untuk menyebut Yahweh, kata ‘Elohim’ sering ditambah dengan artikel “ha” (“the” dalam bahasa Inggris) yang artinya “the God” (Tuhan), dan terkadang lebih jauh ditambah identifikasi (kata sifat) “Elohim Rayyim” yang artinya “Tuhan yang hidup.”]

Telinga umat Kristen sendiri sangat akrab dengan istilah “Bethel” (Beth-El) yang artinya “Rumah Tuhan”. Bahasa Arab-nya adalah “Baitullah” (Bait Allah). Bahasa Ibrani mengucap “e” seperti Eloah dan Beth, sedangkan bahasa Arab melafalkan “a” seperti Allah dan Bait. Kristen Indonesia menyebut nabi Isa dengan panggilan “Yesus”, sedangkan Kristen Eropa, Amerika dan Australia memanggil “Jesus” bukan “Yesus”. Lalu apakah Jesus dengan Yesus itu berbeda orangnya?

Sejatinya penerjemahan alkitab terhadap berbagai bahasa yang menyebabkan kata “Allah” telah hilang pemaknaanya. (yang lebih aneh lagi Lembaga Alkitab Indonesia memeakai kata “allah”, “Allah”, “TUHAN ALLAH” yang tidak jelas maksudnya yang merupakan terjemah dari kata “elah”, “Elohim”, “Ha Elohim”.). Selain itu dapat kita perhatikan pada perkataan nabi Habakuk berikut:

“ Allah datang dari Teman, dan yang Mahasuci dari gunung Paran,…” (Habakuk 3:3)

“ Eloah mthimn ibua uqdush mer Pharn…” (Habakuk 3:3 Ibrani)

Jadisemakin jelas bahwa kata “Allah” juga dipakai dalam penyebutan untuk Tuhan oleh orang israel, walaupun berbeda tulisan dan pengucapan.

Andaikata Allah itu merupakan nama Dewa Bulan/Setan maka apakah ketika Yesus mengucapakan:

“Eli, Eli, Lama Sabachtani?” atau “Eloi, Eloi, Lama Sabachtani?”

Yang berarti: “Allahku, Allahku mengapa engkau tinggalkan aku?”, itu dia mengucapkan kepada Dewa Bulan? Atau setan? Andaikata benar maka seluruh nabi dari nabi Adam sampai Yesus musyrik karena mereka tidak monotheisme, apakah Robert Morey atau yang mengatakan bahwa Allah itu Dewa Bulan setuju dengan Yesus itu musyrik?

Rabu, 26 Maret 2008

RUANG ANGKASA MENURUT AL-QURAN

Etape pertama Rasulullah saw adalah perjalanan horisontal dari Mekkah ke Palestina. Dari apa yang saya uraikan di bagian depan, perjalanan itu hanya ditempuh Nabi dalam waktu tidak sampai 1 detik. Kenapa bisa secepat itu? Karena Nabi Muhammad, Jibril dan Buraq melesat dengan kecepatan cahaya, 300.000 km/detik. Maka, jarak Mekkah Palestina yang hanya sekitar 1.500 km itu pun tidak terlalu berarti bagi mereka.

Sesampai di masjidil Aqsha, Rasulullah saw sempat melakukan shalat bersama malaikat Jibril, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan ke langit ke tujuh. Perjalanan berikutnya adalah sebuah perjalanan yang memiliki mekanisme berbeda dengan etape pertama.

Pada etape pertama, Rasulullah saw melakukan perjalanan dengan badan wadag yang telah diubah menjadi badan cahaya. Akan tetapi sesampai di masjidil Aqsha badan Nabi telah berubah kembali menjadi badan material sebagaimana sebelumnya. Ini adalah etape teleportasi, sebagaimana digambarkan dalam berbagai film science fiction. Akan tetapi pada etape kedua, beliau tidak lagi menggunakan mekanisme tersebut melainkan melakukan perjalanan dimensional.

Ini adalah bagian yang sangat abstrak dan agak rumit dijelaskan. Akan tetapi, dengan berbagai perumpamaan dan analogi, mudah-mudahan pembaca bisa mengikuti apa yang akan saya sampaikan di bagian-bagian berikut ini.

Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab berkaitan dengan perjalanan menuju langit ke tujuh ini. Untuk menghindari kesalah pahaman, maka kita harus menyamakan dulu persepsi tentang beberapa hat. Di antaranya adalah hal-hal berikut ini.
1. Apakah yang disebut langit?
2. Di langit manakah Bumi kita berada?
3. Apa dan bagaimanakah langit berlapis tujuh?
4. Bagaimana Rasulullah saw bisa melakukan perjalanan menembus, langit satu sampai ke tujuh?
5. Apakah yang terjadi ketika berada di Sidratul Muntaha?


MEMAHAMI LANGIT

Banyak di antara kita yang memiliki persepsi berbeda tentang langit. Ada yang berpendapat bahwa langit adalah sebuah 'atap' alias bidang pembatas ruang angkasa. Artinya, mereka mengira bahwa ruang di atas kita ada pembatasnya, semacam atap. Kelompok pertama ini, biasanya adalah mereka yang awam tentang ilmu Astronomi.

Kelompok kedua adalah mereka yang mengikuti berbagai macam informasi tentang angkasa luar dari berbagai film-film fiksi ilmiah, ataupun berbagai macam media massa. Pada umumnya mereka mengerti bahwa yang dimaksud langit adalah sebuah ruang raksasa yang berisi triliunan benda-benda langit, seperti matahari, planet-planet (termasuk Bumi), bulan, bintang, galaksi, dan lain sebagainya. Mereka memperoleh pemahaman yang lebih baik bahwa langit bukanlah sebuah bidang batas, melainkan seluruh ruang angkasa di atas kita.

Kelompok yang ketiga adalah mereka yang mempelajari informasi Astronomi lebih banyak dan lebih detil. Lebih jauh, mereka mencoba memahami berbagai hal yang berkait dengan struktur langit lewat berbagai teori-teori Astronomi. Mereka terus-menerus mengikuti berbagai informasi dan mencoba melakukan rekonstruksi terhadap struktur langit, yang secara umum dipahami sebagai alam semesta atau Universe.

Nah, dari ketiga kelompok pemahaman itu saya ingin mengambil kesimpulan yang bersifat global saja, sebagai pijakan awal pemahaman kiia tentang langit. Bahwa yang disebut langit sebenarnya bukanlah sebuah bidang batas di angkasa sana, melainkan sebuah ruang tak berhingga besar yang memuat triliunan benda-benda angkasa. Mulai dari batuan angkasa yang berukuran kecil, satelit semacam bulan, planet-planet, matahari dan bintang, galaksi hingga superkluster.

Karena itu, jika kita bergerak ke langit naik pesawat angkasa luar, misalnya, maka kita akan bergerak menuju ruang angkasa yang tidak pernah ada batasnya. Sehari, seminggu, sebulan, setahun dan seterusnya kita bergerak ke angkasa, maka yang kita temui hanya ruang angkasa gelap yang berisi berbagai benda langit saja. Sampai mati pun, kita tidak akan pernah menemukan pembatasnya. Ya, langit adalah ruang angkasa yang luar biasa besarnya. Bahkan, tidak diketahui dimana tepinya.

Nah, pemahaman tentang langit ini penting untuk menyamakan persepsi kita tentang perjalanan Mi'raj Rasulullah saw. Sebab, dalam pemahaman tradisional selama ini, kita memperoleh kesan betapa langit itu digambarkan sebagai atap alias 'langit-langit'. Bahkan digambarkan pula sebagai atap yang ada pintu-pintunya, yang kemudian mesti dibuka sebagaimana pintu rumah, ketika Rasulullah saw mau memasuki langit yang lebih tinggi.

Istilah langit dalam bahasa Inggris, barangkali memberikan gambaran yang lebih jelas: Sky. Dalam bahasa Indonesia lebih pas disebut sebagai 'Angkasa'. Istilah lainnya adalah space. Sehingga, angkasa di luar Bumi disebut sebagai Outer Space. Jadi langit adalah Ruang Angkasa.

Pemahaman tentang langit adalah pemahaman yang cukup rumit. Apalagi jika dikaitkan dengan struktur langit yang tujuh. Untuk langit pertama saja, tidaklah mudah. Bahkan sampai sekarang ilmu Astronomi masih menemui berbagai kendala yang agak rumit dalam mempersepsi struktur alam tersebut. Akan tetapi, Insya Allah semuanya berangsur-angsur bisa dijelaskan.

Di dalam Al-Qur'an, Allah secara jelas dan berulangkali menginformasikan bahwa langit yang Dia ciptakan itu memang bukan hanya satu, melainkan 7 lapis, sebagaimana diinformasikan dalam ayat berikut ini.

QS. At Thalaq (65): 12
" Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula Bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu Nya benar-benar meliputi segala sesuatu."

QS. Al Mulk (67): 3
" Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?"

Dan masih ada beberapa ayat lagi yang bercerita tentang langit yang tujuh. Cuma, kita mesti mencermati penggunaan kata langit (assamaa' dan assamaawaat - tunggal dan jamak). Kata-kata ini ternyata digunakan oleh Allah untuk menggambarkan ruang di atas Bumi, baik yang berarti atmosfer, maupun yang berarti angkasa luar.

Penggunaan kata langit yang bermaksud untuk angkasa luar, misalnya adalah yang terdapat dalam ayat-ayat di atas. Dan juga ayat berikut ini.

QS Fushilat (41): 12
" Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui."

Di ayat tersebut tergambar jelas sekali bahwa Allah menggunakan kata as samaawaat untuk menggambarkan angkasa luar. Kenapa ada kesimpulan begitu? Karena Dia menggambarkan bahwa langit yang dekat dihiasi dengan bintang-bintang. Dan kita tahu semua bahwa bintang-bintang itu bukan terdapat di atmosfer, melainkan di ruang angkasa.

Maka, ketika Allah bercerita tentang langit yang tujuh di ayat tersebut, langit yang dimaksudkan adalah langit alam semesta yang jumlahnya 7 tingkat.

Akan tetapi, di ayat-ayat yang lain Allah menggunakan kata-kata assamaa' dan assamawaat untuk menggambarkan atmosfer Bumi. Hal itu, misalnya, terdapat pada ayat-ayat berikut ini.

QS. Al Baqarah (2): 29
" Dia lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."

Di situ digambarkan betapa Allah menciptakan segala, sesuatu di Bumi untuk manusia. Kemudian Dia memproses langit yang tujuh. Di ayat ini Allah menggunakan kata 'langit', untuk atmosfer. Kenapa demikian, karena langit tersebut ternyata diproses setelah Bumi terbentuk.

Jika yang dimaksudkan adalah langit alam semesta, hal itu menjadi tidak cocok. Karena sesungguhnya proses terbentuknya langit semesta lebih dulu dibandingkan dengan Bumi. Planet Bumi adalah bagian dari langit semesta, disamping miliaran matahari dan triliunan planet yang ada.

Ayat lain yang menunjukkan 'langit' sebagai atmosfer terdapat pada ayat-ayat berikut ini.

QS. Ruum (30): 48
" Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan ke luar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba Nya yang dikehendaki Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira."

Karena 'langit' di sini dikaitkan dengan hujan, kita lantas bisa mendapatkan gambaran bahwa yang dimaksudkan adalah atmosfer. Maka, ketika Allah menyebutkan bahwa langit tersebut ada tujuh, orientasi pemahaman kita menuju kepada lapisan-lapisan atmosfer yang memang ada tujuh lapis, yaitu: Troposfer, stratosfer, ozonosfer, mesosfer, ionosfer, eksosfer, dan magnetosfer.

Pemakaian kata 'langit' untuk dua hal yang berbeda ini seringkali membingungkan mereka yang kurang akrab dengan masalah astronomi. Mereka rancu menyamakan antara atmosfer dengan langit ruang angkasa.

Hal itu, misalnya, terlihat dari pemahaman mereka terhadap ayat ayat berikut ini.

QS. Al Baqarah (2): 22
Dialah Yang menjadikan Bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui."

QS. Al anbiyaa (21): 32
" Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya."

Ayat-ayat di atas menceritakan bahwa langit berfungsi sebagai atap. Hal ini memang cocok dengan fungsi atmosfer sebagai pelindung Bumi. Keberadaan atmosfer telah melindungi Bumi dari 'serangan' batu-batu langit yang setiap hari berjatuhan ke arah Bumi. Batu-batu yang masuk ke atmosfer Bumi telah dihadang olehnya, untuk kemudian dibakar oleh gesekan udara yang memiliki kecepatan putar lebih dari 1600 km per jam. Jadi dalam hal ini, atmosfer telah berfungsi sebagai atap yang melindungi Bumi.

Persoalannya menjadi lain ketika kita berbicara tentang langit yang bukan atmosfer. Karena langit angkasa luar tersebut berupa ruang yang sangat besar, berisi triliunan benda langit. Bukan berupa lapisan-lapisan udara seperti yang terdapat dalam atmosfer kita.

Maka, ketika Allah menyebutnya sebagai berlapis tujuh, cara pemahamannya berbeda dengan memahami atmosfer Bumi. Disinilah banyak yang terjebak pada pemahaman yang rancu antara keduanya.

Kerancuan itu, misalnya, terlihat dari pemahaman langit sebagai atap. Banyak beredar pemahaman di kalangan umat Islam, katanya, langit alam semesta ini berbentuk atap, sebagaimana dijelaskan pada ayat-ayat di atas. Padahal penjelasan itu terkait ke langit atmosfer. Bukan langit semesta.

Sehingga, tafsir yang muncul terhadap langit berlapis tujuh itu menjadi begitu sederhana dan naif. Bahwa, langit alam semesta dipersepsi bertumpuk-tumpuk seperti kue lapis. Lapis pertama adalah langit pertama, lapis kedua adalah langit kedua dan seterusnya sampai langit yang ke tujuh.

Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dan bisa menjadi bahan olok-olok yang tidak mengenakkan hati dari orang-orang yang tidak suka kepada Islam. Tentu, kita harus memberikan penafsiran yang lebih proporsional, sesuai kenyataan ilmiah.


LANGIT PERTAMA

Barangkali kita telah sepaham, bahwa yang disebut langit adalah 'ruang' tak berhingga besar yang terhampar di atas kita. Baik bagi kita yang berada di Indonesia, maupun yang di balik Bumi Indonesia, yaitu di Amerika. Sekali lagi langit adalah ruangan raksasa yang berisi triliunan benda langit seperti planet, bulan, meteor, matahari, nebula, galaksi, superkluster, dan lain sebagainya. Termasuk Bumi kita ini berada di dalam langit. Jadi langit adalah 'ruang angkasa'.

Nah, Allah menginformasikan di dalam Al Qur'an bahwa langit itu ada tujuh tingkat. Langit yang pertama adalah langit yang dihuni oleh manusia dan makhluk-makhluk berdimensi 3, seperti binatang, tumbuhan dan benda-benda mati, yang terdapat di planet Bumi. Ditambah lagi, segala benda langit yang mengisinya. Itu semua adalah makhluk di langit pertama. Langit pertama itu di dalam istilah agama disebut sebagai 'Langit Dunia'.

Allah telah memberikan gambaran yang menarik di dalam Al Qur'an, tentang langit Dunia itu.

QS. Fushshilat (41): 12
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Artinya, seluruh ruang angkasa yang berisi triliunan bintang, matahari, galaksi, nebula, meteor, dan segala benda langit termasuk Bumi itu, oleh Allah disebut sebagai langit Dunia. Kata 'Dunia' memiliki arti 'dekat'. Jadi, maknanya menjadi langit yang dekat.

Padahal sebagaimana kita tahu, bahwa langit yang disebut 'dekat' oleh Allah itu bukanlah jarak yang dekat bagi manusia. Saya sudah pernah menyampaikan bahwa jarak bintang yang terdekat saja membutuhkan waktu 428 tahun untuk datang ke sana. Itu pun kalau kita menggunakan pesawat tercepat milik manusia, misalnya Challenger, atau Columbia yang berkecepatan 20.000 km per jam.

Kalau kita menggunakan kecepatan yang lebih tinggi, katakanlah cahaya sebagai kecepatan puncak di alam semesta ini waktu tempuhnya juga masih sangat lama, yaitu butuh waktu 8 tahun, baru sampai di bintang terdekat itu. Apalagi untuk menuju bintang-bintang yang lebih jauh. Ada yang membutuhkan waktu sejuta tahun. Ada pula yang memerlukan waktu 1 miliar tahun. Bahkan yang terjauh bisa membutuhkan waktu 10 miliar tahun!

Jadi, Langit Dekat itu, bukanlah langit yang kecil dan gampang kita tempuh. Usia kita yang cuma puluhan tahun ini tidak berarti apa-apa untuk menempuh jarak antar bintang. Apalagi untuk mengembara dan mengarungi alam semesta. Sama sekali tidak mungkin!

Padahal kita sudah menggunakan sebuah cara yang juga mustahil', yaitu naik pesawat dengan 'kecepatan cahaya'. Kenapa tidak mungkin? Karena sungguh, tidak ada benda apa pun di alam semesta yang bisa dipercepat mencapai kecepatan cahaya. Benda tersebut bakal hancur, semburat menjadi partikel-partikel kecil sub atomik. Secara lebih detil, akan saya jelaskan pada bagian lain.

Ada juga yang tidak percaya dan mempertanyakan: apakah betul kecepatan tertinggi di alam semesta ini adalah cahaya? Ya, begitulah sains menbuktikan. Memang ada semacam 'angan-angan' dan harapan dari beberapa kalangan supaya di alam semesta ini ada kecepatan yang lebih tinggi dari cahaya, supaya mereka bisa menjelaskan beberapa hal yang muskil.

Akan tetapi, sampai sekarang keinginan itu tidak pernah bisa dibuktikan. Kecepatan tertinggi di alam semesta sampai sekarang, tetap adalah kecepatan cahaya, yaitu 300.000 km per detik. Maka seluruh penjelasan tentang gerak di alam semesta ini masih harus berpatokan pada kecepatan cahaya tersebut. Sehingga, perhitungan relativitas waktu pun masih diukur dengan kecepatan cahaya.

Jadi, kembali lagi kepada alam semesta, ternyata alam semesta kita ini memang demikian besarnya. Diperkirakan diameternya mencapai 30 miliar tahun cahaya. Artinya, jika cahaya mencoba menyeberangi alam semesta. dari tepi kiri menuju tepi kanan, ia butuh waktu selama 30 miliar tahun! Sungguh sebuah ukuran yang sangat besar!

Apalagi manusia. Jika manusia menyeberangi alam semesta dengan menggunakan pesawat ulang alik berkecepatan 20 km per jam, maka waktu yang diperlukannya adalah sekitar 1,62 miliar miliar tahun, alias 1,62 dengan sepuluh pangkat 18 tahun. Sebuah hal yang sangat muskil dilakukan oleh manusia!

Diperkirakan alam semesta ini memuat partikel sejumlah 10 pangkat 81, yang tersebar di seluruh penjuru langit. Di antaranya, yang terbanyak adalah yang berada di pusat alam semesta. Yang lain tersebar dalam bentuk benda-benda langit dan debu angkasa. Termasuk, partikel-partikel pembentuk matahari, bintang, nebula, dan planet Bumi.

Secara sederhana, alam semesta ini boleh diumpamakan seperti sebuah bola raksasa yang memuat triliunan benda langit. Mulai dari yang terkecil, debu-debu angkasa, batu meteor, batu komet, batu asteroid, satelit, planet, matahari, bebagai jenis bintang-bintang, galaksi, sampai yang terbesar, super cluster.

Seluruh benda langit itu membentuk sistem saling tarik-menarik dan saling 'mengikat' lewat gaya gravitasi. Coba bayangkan, ada triliunan kelereng yang sedang mengambang di awang-awang. Triliunan benda itu semuanya bergerak. Tidak ada yang diam! Dan 'sedikit' sekali terjadi tabrakan, terutama pada kelereng-kelereng yang berukuran besar. Karena masing-masing kelereng itu memiliki lintasan geraknya masing-masing. Kecuali benda-benda langit yang bergerak bebas dan tidak memiliki lintasan orbit.

Kita melihat sebuah 'demonstrasi' kekuatan yang Maha Dahsyat, yang mengatur keseimbangan gerakan itu. Jika tidak, maka sungguh seluruh benda langit itu akan saling bertabrakan, dan menjadi kacaulah langit kita.

Akan tetapi, yang terjadi bukan begitu. Meskipun sudah berlangsung selama 12 miliar tahun, benda-benda langit itu bergerak secara harmonis. Benda-benda langit yang berukuran besar, memiliki dua jenis gerakan. Gerakan pertama adalah gerakan berputar pada dirinya sendiri, yang dikenal sebagai gerakan rotasi. Sedangkan gerakan kedua adalah gerakan melingkari benda yang lebih besar dari dirinya, yang dikenal sebagai gerakan revolusi.

Jadi bisa kita bayangkan, betapa benda yang paling kecil adalah benda yang paling 'pusing'. Ambillah contoh, Bulan. Bulan adalah satelit Bumi. la berputar pada dirinya sendiri. Selain itu, ia juga mengitari Bumi pada lintasan orbitnya yang berjarak sekitar 1 menit cahaya alias sekitar 18 juta km dari Bumi.

Lintasan itu memiliki pola yang tetap. Sehingga pergerakan Bulan bisa dihitung secara akurat oleh manusia. Katakanlah, waktu terjadinya gerhana Bulan. Manusia telah bisa memperkirakan kapan bakal terjadi gerhana Bulan di tahun tahun mendatang. Karena itu, pergerakan bulan ini bisa dijadikan patokan penanggalan alias kalendar. Termasuk kalendar Hijriyah yang digunakan oleh umat Islam. Satu kali perputaran Bulan mengelilingi Bumi membutuhkan waktu 29,5 hari.

Bukan hanya bulan yang bergerak, tetapi juga Bumi. Planet yang memuat sekitar 5 miliar manusia ini berputar pada dirinya sendiri. Satu kali rotasi menghabiskan waktu 24 jam alias sehari. Selain itu juga berputar mengelilingi matahari dalam kurun waktu 365,25 hari, satu kali putaran, yang disebut sebagai setahun.

Maka kita melihat di sini, bahwa bulan mengelilingi Bumi pada periode tertentu, dengan cara tertentu. Dan kemudian, Bumi bersama Bulan, mengelilingi matahari pada periode tertentu dengan cara tertentu pula.

Nah, apakah Matahari juga bergerak seperti itu? Ternyata ya. Matahari yang menjadi pusat pergerakan sembilan planet termasuk Bumi ini, ternyata juga bergerak berotasi dan berevolusi. Selama sekitar 5 miliar tahun Matahari bergerak berirama bersama kesembilan planet, yaitu Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan Pluto; mengelilingi sebuah Bintang yang berukuran sangat besar yang berada di pusat Galaksi Bima sakti.

Galaksi Bima Sakti beranggotakan sekitar 100 miliar matahari. Kesemuanya berputar mengelilingi pusat galaksi yang berbentuk cakram. Bumi dan tatasurya kita terletak di salah satu wilayah agak ke pinggir dari cakram tersebut.

Maka, Dalam satu galaksi ini saja kita bisa 'melihat' betapa ada bermiliar-miliar benda langit yang sedang bergerak dalam sebuah irama yang sangat harmonis. Ratusan miliar matahari, dan triliunan planet, asteroid, satelit, serta berbagai batu angkasa sedang 'menari-nari' dalam komposisi irama galaksi Bima Sakti yang sangat mengagumkan.

Namun, dari data Astronomi juga diketahui bahwa jumlah galaksi di alam semesta ini ternyata sangatlah banyak., Bisa mencapai ratusan miliar galaksi. Bahkan boleh jadi triliunan. Setiap saat, para ahli astronomi bisa menemukan sejumlah gugusan bintang alias galaksi lewat teleskop Hubble atau Spitzer atau Compton.

Ternyata, bukan hanya matahari atau bintang-bintang yang bergerak secara berirama dalam satu gugusan. Melainkan, galaksi-galaksi itupun bergerak berotasi dan revolusi mengelilingi sebuah galaksi yang sangat besar. Tidak kurang dari 100 miliar galaksi diperkirakan bergerak berirama membentuk gugusan galaksi yang disebut Supercluster. Lagi-lagi kita melihat sebuah orchestra alam semesta yang luar biasa dahsyatnya, dalam sebuah parade triliunan matahari yang 'menari-nari' dengan cantik sekali.

Sampai disinikah besarnya alam semesta? Ternyata tidak. Gerakan-gerakan berputar dan berirama itu terus membesar, membesar dan membesar. Dari Bulan mengelilingi Bumi, kemudian mengelilingi Matahari, lantas mengelilingi pusat galaksi, dan berevolusi mengitari pusat Supercluster, diperkirakan masih terus membentuk gugusan gugusan yang lebih besar yang belum ketahuan tepinya. Meskipun, para. ahli menyimpulkan alam semesta ini besarnya terbatas pada diameter 30 miliar tahun cahaya. Tapi, disinilah manusia mulai merasakan situasi 'kritis' atas pemahamannya terhadap alam semesta. Mereka dihadang oleh sebuah 'Kekuasaan' dan 'Kecerdasan' yang Sangat Misterius, yang sedang menggelar sebuah Orkestra Maha Dahsyat dalam skala yang tidak terbayangkan ...

Minggu, 23 Maret 2008

Tokoh Islam Modern

Muhammad Abduh (Bahasa Arab: محمد عبده ) (Delta Nil, 1849 - Alexandria, 11 Juli 1905 ) adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam.

Beliau belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamal al-Din al-Afghani, seorang filsuf dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.

Abduh diasingkan dari Mesir selama enam tahun pada 1882, karena keterlibatannya dalam Pemberontakan Urabi. Di Libanon, Abduh sempat giat dalam mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersalam al-Afghani menerbitkan jurnal Islam The Firmest Bond.

Salah satu karya Abduh yang terkenal adalah buku berjudul Risalah at-Tawhid yang diterbitkan pada tahun 1897.